
Dua ribu tujuh belas, salah satu resolusi saya adalah ingin bertemu dengan banyak teman-teman baru. Kenapa? Karena saya pemalu, introvert dan sulit bergaul, so I have to break the box (hiyeaah!). Waktu itu, saya hanya berpikir bahwa saya akan bertemu dengan teman-teman baru jika saya berkegiatan bersama Yakobi. Tetapi, ternyata Allah menjawab harapan saya dengan cara paling tidak sederhana seperti yang saya bayangkan.
Pada awal tahun 2017 lalu, saya dan Yakobiers menyelenggarakan proyek mengenai edukasi lingkungan kepada pemuda, khususnya siswa-siswi SMA di Tanjung Redeb dan Kelay. Proyek tersebut kami tuangkan dalam aktivitas Youth Green Camping Berau. Dimana, tim horenya bukan hanya Yakobi tapi juga beberapa teman pegiat lingkungan lainnya. Terima kasih untuk awal tahun yang menyenangkan dan penuh tawa (walaupun pada akhirnya, laporan kegiatan bikin keder juo. Hahaha). Bertemu mereka semakin membuat saya semakin cinta pada alam dan ingin selalu berbagi cinta tersebut pada semua orang agar mereka tahu nikmatnya.
Setelah Youth Green Camping selesai, maka selesai pulalah kisah saya dengan seorang “teman dekat” saya yang sudah dijalani selama bertahun-tahun. Jadi yaa… kalau tahun-tahun itu digunakan untuk melakukan cicilan rumah, pasti lunaslah sudah. Eh, ditambah mobil baru pula sepertinya. Apalagi jika tahun-tahun itu dijalani dalam pernikahan, entah berapa banyak anak yang sudah kami hasilkan. Hahahaha… anyway, akhirnya saya membalaskan kesepian dan kesedihan saya dengan mengajukan aplikasi program pertukaran pemuda ke Amerika Serikat (eh, tapi ini motivasi sampingan loh yaa).
Ah, kalau saya ingat kembali masa-masa itu rasanya luar biasa hebat. Saya jadi makhluk paling kuat, dewasa serta bijaksana dalam bersikap. Walaupun, ketika pertanyaan “ada apa?” terlontar dari Mama tetap sukses membuat saya mewek lebay (hwahahaha). Saya merasa harus selalu bersabar menjalani proses yang bikin mood berantakan selama berbulan-bulan, ededeeh! Iya, semua itu kulakukan demi masa depan yang cerah, gemah ripah loh jinawi (iki opo jal?). Tapi alhamdulillah, Allah selalu menunaikan janjinya, bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan dan Dia memberi saya hadiah yang tidak pernah saya sangka.
Pada pertengahan tahun 2017, setelah bergalau-galau ria dan berharap-harap cemas, saya dinyatakan lolos seleksi lalu diundang ke Jakarta untuk melakukan wawancara visa dan departure briefing sebelum ke Amerika. Entah saya pernah bermimpi apa sampai bisa bertemu dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Bapak Donovan, di kediaman beliau, berjabatan tangan dengan beliau dan makan siang bersama pula sambil “pamer” prestasi serta kekayaan daerah.
Perjalanan saya ke Jakarta juga membawa saya pada kenangan masa kecil dan berhasil mempertemukan saya dengan teman lama dari Klub Buku Indonesia. Hal yang tidak kalah seru adalah pertemuan saya dengan 25 orang delegasi Indonesia dalam program YSEALI Academic Fellowship. Para delegasi ini adalah orang-orang keren dan inspiratif yang terpilih dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka kelak akan menjadi penerang untuk saya ketika sedang mandeg ide dan butuh cubitan. Untuk sekali dalam seumur hidup saya pula, saya punya teman sungguhan (bukan teman melalui jejaring sosial atau teman ketemu di jalan) yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia, termasuk pulau paling timurnya Indonesia, Papua. Hahaha, Vita norak! Bodo aamaaat~
Awal September hingga pertengahan Oktober 2017 lalu, akhirnya saya berangkat ke Amerika Serikat selama 5 minggu. For your information, ini adalah kali pertama saya pergi ke luar negeri. serius! Dan puji syukur, perginya malah ke negara impian setiap orang pula yaa kaan, mmm~
Eh tiba-tiba teringat dengan syair Imam Syafi’i ini,
“Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman… Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang.”
Selama masa perantauan, saya benar-benar menemukan keluarga baru dan teman-teman baru yang setiap harinya selalu membuat saya tertawa, bangga, menangis, kesal, bersemangat dan terinspirasi. Mereka adalah keluarga angkat saya, dosen-dosen saya di NIU, beberapa mahasiswa NIU yang saya temui di dining hall dan pada saat proses belajar, ibu-ibu dan anak-anak yang saya temui di Islamic Center DeKalb, keluarga Fulbrighter Indonesia di DeKalb dan tentu saja para saudara-saudara saya yang kreatif dan inspiratif dari 9 negara ASEAN.
Perjalanan saya selama 5 minggu itu, hingga sekarang masih belum bisa hilang dari ingatan saya. Banyak sekali cerita dan kenangan yang saya lalui bersama YSEALIs sampai tiba pada hari terakhir sebelum kembali ke negara masing-masing. Malam itu, kami berkumpul bersama di kamar ber-21 orang untuk saling menceritakan kesan dan pesan masing-masing selama program. Hampir semua curahan hati kami diwarnai tangis dan segukan. Lalu tibalah pada sesi terakhir, dimana kami sudah tidak tahan membendung air mata dan seperti sedang dikomando, kami berkumpul membentuk lingkaran dan saling memeluk satu sama lain. Iya, pelukan hangat seorang kakak pada adiknya, pelukan hangat seorang saudara yang baru ditemuinya tapi harus melepas saudaranya kembali untuk pergi jauh ribuan mil dan entah kapan bisa bertemu lagi.
Saat itu, salah seorang teman seperjuangan dari Indonesia memeluk saya erat sekali. Usut punya usut, kami baru saling tahu bahwa kami memiliki cerita hidup yang hampir mirip setelah farewell speech tersebut. Ditengah pelukan dan uraian air mata, dia berkata sambil menepuk bahuku.
“Semangat balik ke Kalimantan, Vit. Kita bangun Indonesia sama-sama!”
Saat itu bahkan saya tidak bisa berkata banyak, hanya air mata yang semakin deras mengalir dan memeluknya lebih erat. Perkataan yang sarat makna dan semangat, yang masih terus melekat di kepala saya sampai sekarang.
Belakangan, saya menyadari bahwa pertemuan saya dengan mereka adalah sebuah awal perubahan baik dalam hidup saya untuk semakin gigih menyelesaikan rencana hidup saya, mencari lebih banyak teman dan cerita hidup, serta berbuat kebaikan untuk banyak orang.
Cerita pertemuan dan perpisahan di atas belum selesai, sepertinya. Hahahaha… Ketika saya berada jauh dari kampung halaman, ada banyak peristiwa yang terjadi dan mempengaruhi kesehatan jiwa dan produktivitas saya dalam belajar dan bergaul. Sempat beberapa kali saya mendengar berita yang membuat saya “melotot-kejang” pada dini hari karena melihat update terbaru dari teman-teman atau kabar dari rumah.
Pada puncak kesedihan dan kerinduan saya pada tanah air, saya memilih untuk tidak tidur setelah menyelesaikan tugas pada dini hari dan keluar dorm pada pukul 07.00 pagi dengan baju berlapis-lapis, menggendong ransel berisi amunisi persiapan kelas, botol air minum dan sebuah apel. Pagi itu, saya menembus udara dingin yang mencapai 7 derajat celsius untuk pergi ke taman di perempatan kampus, duduk sendiri lalu menumpahkan kekesalan dan kesedihan saya dengan bekal gumpalan tissue di tangan. Mhahahaha….
Waktu itu saya membayangkan betapa rempongnya teman-teman di kantor, sementara saya tidak sedang berada di sana untuk membantu bekerja, berpikir atau sekadar memberikan yel-yel penyemangat. Belum lagi mengingat-ingat salah satu sahabat yang menikah dan tidak sempat saya saksikan. Teringat pula Mama yang pasti sedang kewalahan berjuang sendirian di rumah. Aaahh… Taman di perempatan kampus dan kursi pojok di lantai empat perpustakaan selalu jadi tempat terbaik saya untuk menumpahkan segala keluh-kesah.
Setibanya di Berau, saya mendapati beberapa teman yang hijrah ke tempat lain (hehe). Eh tapi seperti kata teman saya pada keterangan gambar dirinya—dengan gaya tutup mata, lidah keluar tapi senyum di media social— begini katanya, “setiap ada pertemuan, pastilah ada perpisahan”. Yepp! Akhirnya saya bertemu dengan teman-teman berjuang yang baru.
Nah, salah satunya adalah kakak tutor yang bertugas mengajar Bahasa Inggris di 3 kampung yang ada di Berau. Dari pribadinya, saya belajar untuk kreatif, “gila”, kerja keras, dan percaya diri (yang kadang malu-maluin). Saya juga belajar dari cerita-ceritanya selama melakukan perjalanan tugas di 3 kampung tersebut, tentang anak-anak dan pemuda kampung. Bahwa hidup dalam keterbatasan tidak lantas membuat mereka patah arang. Nyatanya, mereka juga punya kemauan yang tinggi agar dapat memiliki kemampuan yang sama seperti orang-orang yang serba cukup hidupnya.
Cerita saya di atas, mengingatkan saya pada salah seorang teman yang pernah mengutip tulisan Patrick Lindsay ini,
“Every new friend is a new adventure… the start of more memories”.
Belakangan ini saya baru sadar bahwa setiap orang-orang yang dipertemukan Allah pada kita, pasti akan selalu membawa warna dan cerita baru dalam hidup yang akan selalu dikenang. Perihal perpisahan juga tidak melulu soal keburukan. Saya percaya, setelah “tugas” mereka untuk “mendidik” saya sudah tunai dan mereka harus pergi, sekarang saatnya saya untuk melakukan kebaikan yang sudah mereka ajarkan dan menyelesaikan kekurangan yang mereka tinggalkan.
—
ndyahforentina |10 Januari 2018